Beritaplatk, Jepara- Banyaknya anak-anak yang tidak mau bersekolah , ditemukan di empat desa di Kabupaten Jepara. Anak-anak tersebut tersebar di Desa Tulakan, Desa Tegalsambi, Desa Tubanan, dan Desa Nalumsari.
Karena itu, Institut Teknologi Bisnis (ITB) Semarang dan UNICEF menjalin kerja sama dengan Pemkab Jepara, melakukan program pengentasan anak Indonesia untuk kembali bersekolah.
Dalam pertemuan yang digelar di aula kantor Bappeda Jepara, Rabu (17/11-2021), pendataan juga dilakukan untuk memperoleh hasil dan melakukan advokasi di empat desa dengan Anak Tidak Sekolah terbanyak.
Pendataan ini dilakukan melalui Sistem Informasi Berbasis Pembangunan Berbasis Masyarakat terhadap Anak Tidak Sekolah (SIPBM-ATS) dan Lokalatih Pendidikan Universal Bagi semua Anak di desa. Hasil pemerolehan ditemukan faktor malas berada pada tingkat tertinggi anak tidak sekolah di Jepara.
Kabid Pemerintahan dan Pembangunan Manusia (PPM) Bappeda Jepara, Natanael Hadisiswoyo, SKM, M.Kes mengatakan, hasil pendataan Anak Tidak Sekolah (ATS) di Desa Tulakan, Desa Tegalsambi, Desa Tubanan, dan Desa Nalumsari, menghasilkan data bahwa faktor penyebab tidak sekolah meliputi faktor ekonomi, bekerja, dan malas.
Menurut Natanael, hasil analisis data tertinggi yang menyebabkan anak tidak sekolah adalah faktor malas. “Dari data ini, akhirnya teridentifikasi bahwa faktor yang menyebabkan anak tidak sekolah adalah faktor malas, ekonomi, dan bekerja,” tandasnya.
Pendataan yang telah dilakukan, kata Natanael, hasilnya akan dapat digunakan untuk menyusun kebijakan berupa pendampingan kepada ATS.
“Pendataan melalui SIPBM berbasis sensus wilayah dapat digunakan sebagai dasar perencanaan pembangunan. Sedangkan SIPBM Pendidikan yaitu masyarakat mengetahui informasi pendidikan di wilayah yang digunakan sebagai dasar dalam perencanaan pendidikan,” paparnya.
Keluarga rentan dapat dilihat melalui penerimaan bantuan Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH). Anak Berisiko putus sekolah dapat dilihat dari penggunaan.
“Data yang sudah diverifikasi SIPMB dari empat desa muncul rekomendasi memasukkan ATS ke sekolah formal non-formal dan mengupayakan kerja paruh waktu,” imbuhnya.
Sementara itu, Fathul Huda, Ketua Dewan Pendidikan Jepara (DPJ) menuturkan bahwa penanganan ATS menjadi prioritas bersama, tidak dilakukan secara parsial.
“Faktor-faktor yang menjadi kendala ATS harus kita petakan yaitu faktor ekonomi, faktor pekerja, dan faktor malas. Agar Jepara menjadi kota pendidikan maka perhatian ATS menjadi tugas bersama,” ujarnya.
Hamidatur Rohmah dari Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Unisnu Jepara menyampaikan bahwa data SIPBM terkait ATS menjadi data penting untuk melakukan riset untuk mengentaskan anak putus sekolah.
“Kami siap melakukan kerjasama dalam melakukan pendampingan ATS, sehingga dapat hak mendapatkan pembelajaran yang setara,” pungkasnya.(**)
-suarabaru-